Posted on Desember 4, 2007 by Vinsensius
OLEH: Amir Purba
(Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU )
Jargon paradigma dalam ilmu sosial didefinisikan sebagai keyakinan
dasar peneliti secara ontologi, metodologi, dan epistemologi.
Pemahaman mengenai paradigma adalah hal yang sangat fundamental.
Paradigma juga memegang peranan penting bagaimana nantinya peneliti
melakukan risetnya, bagaimana ia memandang fenomena, tolak ukuran
kepekaannya dan daya analisisnya, termasuk melalui pendekatan analisis
wacana.
Menurut Patton dalam Kristi (2001) paradigma mengacu pada serangkaian
proposisi yang menerangkan bagaimana dunia dan kehidupan
dipersepsikan. Paradigma mengandung pandangan tentang dunia, cara
pandang untuk menyederhanakan kompleksitas dunia nyata. Paradigma
memberi gambaran pada kita mengenai apa yang penting, apa yang
dianggap mungkin dan sah untuk dilakukan, apa yang dapat diterima akal
sehat.
Nah, disadari atau tidak, peneliti sesungguhnya berjalan dan
bersinggungan dalam kerangka epistemologis, ontologis dan metodologi
yang memang diyakininya dalam penelitian. Epistemologis menjelaskan
bagaimana hubungan antara peneliti—yang mencari tahu—dengan
orang-orang atau fenomena yang diteliti. Sedangkan ontologi adalah
interpretasi manusia apa itu realitas dan bagaimana cara
mengetahuinya. Sedangkan metodologi adalah cara-cara, teknik atau
metode untuk meneliti.
Pada dasarnya, Ada tiga paradigma dalam analisis wacana, yaitu
positivis-empiris (lazim juga disebut positivisme), konstruktivisme,
dan kritis. (Hikam, A.S., dalam, Latif, Y. dan Ibrahim, I.S. [ed.],
[1996]). Pertama, positivis-empiris. Salah satu cirinya adalah
pemisahan antara pemikiran dan realitas. Inti bahasannya, apakah suatu
pernyataan disampaikan secara benar menurut kaidah sintaksis dan
semantik. Dengan demikian analisis wacana dimaksudkan untuk
menggambarkan tata aturan ayat, bahasa, dan pengertian bersama.
Kedua, konstruktivisme. Menolak pemisahan antara subjek dan objek
bahasa. Menempatkan subjek sebagai aktor sentral dalam kegiatan
wacana. Subjek boleh melakukan kontrol terhadap maksud-maksud yang ada
dalam wacana. Ketiga, kritis. Di sini, analisis wacana menekankan pada
konstalasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi
makna. Individu tidak dipandang sebagai subjek yang netral, karena
sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada di
masyarakat.
Sedangkan dalam pandangan paradigma kritis bahasa tidak dipahami
sebagai medium netral melainkan sebagai representasi yang berperan
dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun
strategi-strategi di dalamnya. Karenanya, analisis wacana digunakan
untuk menguraikan segala sesuatu yang ada di dalam setiap proses
bahasa.
Analisis wacana di dalam ilmu komunikasi bersumber dari pemikiran
Marxis Kritis. (Stephen W. Littlejohn, 2002; Stanley J. Baran and
Denis K. Davis, 2000). Ada tiga aliran pemikiran yang termasuk ke
dalam kategori ini, yaitu: (1). Aliran Frankfurt (Frankfurt School);
(2). Studi Budaya (Cultural Studies); (3). Studi Wanita (Feminist
Study). ( Stephen W. Littlejohn, 2002).
Sementara itu, McQuail, yang menitikberatkan perhatiannya kepada
pemikiran Marxis secara keseluruhan, mengajukan lima cabang teori yang
berkembang di dalamnya yaitu: (1). Teori Marxis Klasik (Classical
Marxism); (2) Teori Ekonomi Politik Media (Political Economic Media
Theory); (3) Teori Aliran Frankfurt (Frankfurt School); (4) Teori
Hegemoni (Hegemonic Theory); (5) Teori Pendekatan Sosial-Budaya
(Sociocultural Approach), biasa disebut Studi budaya (Cultural
Studies). (Denis, McQuail, (1994).
Wacana di dalam kehidupan media juga memiliki pengertian yang
mendalam. Menurut Norman Fairclough (1995), wacana adalah bahasa yang
digunakan untuk merepresentasikan suatu praktik sosial, ditinjau dari
sudut pandang tertentu. Fiske, wacana harus diartikan sebagai suatu
pernyataan atau ungkapan yang lebih dari satu ayat; W. O'Bar, wacana
merupakan penyampaian ide-ide dari seseorang kepada yang lainnya.
(Stephen Harold Riggins, 1997); Eriyanto (2001), wacana berkaitan erat
dengan kegiatan komunikasi, yang substansinya tidak terlepas dari
kata, bahasa, atau ayat. Dalam (Sobur Alex, 2001), wacana adalah
rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu
hal (subjek) yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam suatu
kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsur segmental maupun
nonsegmental bahasa.
Jadi, wacana adalah proses komunikasi, yang menggunakan simbol-simbol,
yang berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa-peristiwa, di dalam
sistem kemasyarakatan yang luas. Melalui pendekatan wacana pesan-pesan
komunikasi, seperti kata-kata, tulisan, gambar-gambar, dan lain-lain,
tidak bersifat netral atau steril. Eksistensinya ditentukan oleh
orang-orang yang menggunakannya, konteks peristiwa yang berkenaan
dengannya, situasi masyarakat luas yang melatarbelakangi
keberadaannya, dan lain-lain. Kesemuanya itu dapat berupa nilai-nilai,
ideologi, emosi, kepentingan-kepentingan, dan lain-lain.
Teks di dalam media adalah hasil proses wacana media (media discourse)
Di dalam proses tersebut, nilai-nilai, ideologi, dan kepentingan media
turut serta. Hal tersebut memperlihatkan bahwa media "tidak netral"
sewaktu mengkonstruksi realitas sosial.
Media mengikutsertakan perspektif dan cara pandang mereka dalam
menafsirkan realitas sosial. Mereka memilihnya untuk menentukan
aspek-aspek yang ditonjolkan maupun dihilangkan, menentukan struktur
berita yang sesuai dengan kehendak mereka, dari sisi mana peristiwa
yang ada disoroti, bagian mana dari peristiwa yang didahulukan atau
dilupakan serta bagian mana dari peristiwa yang ditonjolkan atau
dihilangkan; siapakah yang diwawancarai untuk menjadi sumber berita,
dan lain-lain. Berita bukanlah representasi dari peristiwa
semata-mata, akan tetapi di dalamnya memuat juga nilai-nilai lembaga
media yang membuatnya. (Gaye Tuchman, 1978).
Intinya, pandangan analisis wacana kritis memandang bahwa media harus
ditempatkan sebagai ruang atau forum publik (public forum) yang bebas.
(Stuart Hall, dalam, Stanley J. Baran and Denis K. Davis, [2000]) Di
dalam forum tersebut setiap unsur masyarakat berkompetisi untuk
mewacanakan simbol-simbol yang merepresentasikan ideologi mereka
masing-masing.
Di dalam kompetisi tersebut, sekalipun kelas dominan memiliki
kelebihan-kelebihan, namun selalu saja ada kelas yang bekerja keras
untuk mengimbanginya. Di sisi lain, media ternyata bukan lembaga yang
netral. Masukan pemikiran dari aliran kritis ini pada dasarnya
memipikan sebuah lingkungan bebas tanpa pretensi untuk semua pihak
yang berkepentingan dengan media massa.
(Dikutip dari rubrik Riset, Dictum edisi Perdana, April 2007)
http://dictum4magz.wordpress.com/2007/12/04/menyelami-analisis-wacana-melalui-paradigma-kritis/